Makalah Sejarah Ekonomi Islam

Bab I
PENDAHULUAN

Makalah ini merupakan salah satu bentuk respon terhadap krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia. Kami menyadari bahwa krisis ini terjadi akibat kurangnya pemahaman yang lebih komprehensif tentang sistem ekonomi Islam. Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam tidak hanya cukup melalui sosialisasi teknis, tetapi juga latar belakang dan perkembangan pemikiran ekonomi para cendikiawan muslim hingga terwujudnya konsep mekanisme operasional lembaga keuangan Syari’ah.
Cendikiawan muslim terkemuka telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan peradaban dunia khususnya pemikiran ekonomi melalui sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad. Salah satunya adalah Ibnu Taimiyah (W. 728 H) dan Asy-Syatibi (W. 790 H).
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memberikan pemahaman tentang pemikiran ekonomi abad pertengahan. Sehingga para pembaca mendapatkan kemudahan untuk memahami isi makalah ini. Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas sebagai berikut :
1.      Biografi Ibnu Taimiyah
2.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
3.      Bigrafi Asy-Syatibi
4.      Pemikiran Ekonomi asy-Syatibi



Bab II
PEMIKIRAN EKONOMI ABAD PERTENGAHAN

1.      Biografi Ibnu Taimiyah
a.      Nasab dan Kelahiran
Nama asli beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi.
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini dilahirkan pada hari Senin, tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabi’ul Awwal 661 H) di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah.[1]
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah SWT telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
b.      Sebab Beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat, sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.[2]
c.       Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan pengabdian kepada Allah SWT. Sederhana dalam berpakaian dan makanan, Kulitnya putih dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Di rumah, beliau sangat santun. Suatu ketika ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Saat itu, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.” Demikianlah tuntunan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a., dia berkata : “Tidaklah pernah Rasulullah Saw mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun meninggalkannya.”
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah SWT berulang-ulang: “Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.” Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah SWT lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.” Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah SWT. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan Rabbnya dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.” Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan: “Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan keislaman yang baik.” Beliau selalu mengatakan:Aku hanyalah pengemis, putra pengemis, demikianlah ayah dan kakekku
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?” Mendengar hal ini, dengan suara lantang Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya sepeserpun bagi saya.”
d.      Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi Allah SWT menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit lupa. Sehingga yang dibacanya akan terpatri lafadz dan maknanya dalam ingatannya.
Ketika Ibnu Taimiyah berusia masih sangat muda, ia mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran sepert Tafsir, Hadits, Fiqih, Matematika dan Filsafat serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya.[3] Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsudin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya baca tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: Hai Ahmad, engkau berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai. Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’ Akhirnya sang ayah dan saudara-saudaranya meninggalkannya. Mereka menghabiskan hari di taman tersebut dan kembali menjelang sore. Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: Hai Ahmad, engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?Beliau menjawab: Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda sudah menghafal kitab ini." Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan beliau. Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: Engkau sudah menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam:Bacakan kitab itu kepadaku.Syaikhul Islam membacakannya dan ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.”
Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat orang merasa iri dan berusaha menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan selama empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.[4]
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan. Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Pernah juga di dalam penjara, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunkan batu arang.[5] Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.

2.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya  tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
a.      Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
1)      Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.[6]
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan harga yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil.                                                                
a)      Konsep upah yang adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).[7]
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
b)      Konsep laba yang adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.[8]
Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
c)      Relevansi konsep harga dan laba yang adil bagi masyarakat
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai hubungan lainya di antara anggota masyarakat. Kedua konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif, dengan kata lain, pada hakikatnya konsep ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka.
2)      Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi local dan impor barang-barang yang diminta (mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah fial-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu factor terpenting dalam permintaan, factor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkanya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang di sebabkan oleh dua factor, yakni produksi local dan impor.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang memengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:[9]
a)      Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
b)      Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
c)      Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
d)     Kualitas pembeli jika pembelli adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebih rendah.
e)      Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
f)       Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak.
g)      Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
3)      Regulasi Harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. Seperti yang akan terlihat, tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.[10] Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
a)      Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidak sempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
b)      Musyawarah untuk menetapkan harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait. Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan  menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung  jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
b.      Uang dan Kebijakan Moneter
1)      Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”[11]
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.
2)      Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan, Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlahh mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang.
3)      Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.

3.      Biografi Asy-Syatibi
Asy-Syathibi  yang bernama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad ini hidup di Granada. Granada adalah sebuah kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia Selatan (Spanyol). Kerajaan ini dibatasi oleh Selat Giblaltar di sebelah selatan, daerah-daerah Jayyan, Cordova, dan Isybiliyah di sebelah utara, wilayah Mursiyah dan pantai Laut Tengah di sebelah timur, dan daerah Qodis di sebelah barat.[12]
Dalam sejarahnya, Granada beberapa kali alih kekuasaan. Ia pernah berada di bawah pemerintahan orang Barbar lalu jatuh ke tangan Al-Murobithun, Daulah Islamiyah yang berada di Maghrib dan Andalusia selama 60 tahun. Daulah ini dirintis oleh Abu Bakar bin Umar (wafat: 1087 M) dan mengikuti ajaran salaf dalam bermadzhab. Setelah itu, Granada dikuasia oleh Al-Muwahhidun, Daulah Islamiyah yang ada di sebelah utara Afrika dan Spanyol pada tahun 541 H (1156 M). Daulah ini dirintis oleh orang Barbar yang bernama Mahammad bin Tumrat dan mengikuti ajaran sufi.
Saat itulah Muhammad bin Yusuf bin Hud Al-Jadzami mendakwakan wajibnya pembebasan Andalus dari Muwahhidun dan orang-orang Nasrani serta menghidupkan kembali syari'ah dan sunnah-sunnahnya. Saat itu pula Muhammad bin Yusuf An-Nashri yang biasa dikenal dengan Ibnu Ahmar meletakkan batu landasan Kerajaan Islam Granada.
Awalnya, masyarakat Granada hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Granada dengan mudah menjalin hubungan perekonomian dan perdagangan dengan daulah lain karena perpindahan kaum muslimin dari kotanya akibat penguasaan orang-orang Nasrani. Hal ini pulalah yang menjadikan Granada sebagai markaz perdagangan terbesar di Eropa. Selain itu Granada juga merupakan penghasil barang tambang seperti besi, emas, dan perak. Namun keadaan itu berubah akibat ulah tangan-tangan mereka sendiri. Granada menjadi kerajaan yang penuh dengan kelaparan dan ketakutan.
Di luar semua itu, keilmuan di Granada tergolong maju. Gerakan pemikiran mulai muncul pada pertengahan awal abad 7 H. Di sinilah Asy-Syathibi menjadi saksi hidup perjalanan Granada dengan warna-warni corak agamanya serta pola pemikiran yang semakin maju.
Nasab Asy-Syathibi disandarkan pada Lakhm bin 'Adi sehingga disebut sebagai Al-Lakhmiy. Lakhm adalah salah satu kabilah arab dari Yaman yang tinggal di Syam yaitu kota kelahiran Nabi Isa a.s, Betlehem (Bait al-lahm). Sebagian orang mengatakan bahwa bait al-lahm menggunakan ha' namun sebenarnya ia menggunakan kho'. Disebut Al-Gharnathi karena ia hidup di Granada dan disebut Asy-Syathibi berdasar pada tempat tinggalnya yang lebih spesifik yaitu Syathibah, kota besar dan maju yang berada di sebelah timur Andalus, sebelah timur Cordova.
      Tidak ada keterangan pasti kapan Asy-Syathibi dilahirkan. Tapi Ust. M. Abu Ajfan memperkirakan bahwa Asy-Syathibi lahir sekitar tahun 720 H berdasarkan sejarah beliau yang dimulai sebelum meninggalnya Syekh Abu Ja'far Ahmad bin Ziyat tahun 728 H.
Asy-Syathibi tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan keilmuan serta pemikiran Islam. Hal inilah yang mempengaruhi perkembangan jiwanya hingga membentuknya menjadi seorang imam yang berakhlaqul karimah, yang selalu menyerukan perdamaian, ketakwaan, wara', zuhud, dan iffah.
      Perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dakwah Islam hingga akhir hayatnya. Ia pun menutup mata pada hari Selasa, 8 Sya'ban 790 H di Granada.
Konsep Maqashid Al-Syari’ah
Sebagai sumber agama Islam, Al-qur’an dan Al-Hadits dijadikan para Ulama’ dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang Syari’ah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep Maqashid Al-Syariah.[13]
Secara bahasa, Maqashid Al-Syariah terdiri dari dua kata, Maqashid dan Al-Syariah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan Al-Syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan Syariah menurut Asy-Syathibi adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Lebih jelasnya, tidak satupun hukum Allah SWT tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan berarti membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.[14]
a.       Pembagian Maqashid Al-Syari’ah
Asy-Syathibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat.
1)      Dharuriyat
Maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup lima unsur pokok kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh: penunaian rukun islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri.
2)      Hajiyat
Maqashid ini dimaksudkan untuh memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik untuk lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh: akad Mudharobah, Muzaro’ah atau aktifitas ekonomi lainnya.
3)      Tahsiniyat
Maqashid ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi beban kehidupan, tetapi hanya sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan. Contoh: kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

b.      Korelasi antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Asy-Syatibi menyimpulkan korelasi antara Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat sebagai berikut :
1)      Maqashid Dharuriyat merupakan dasar bagi Maqashid Hajiyat dan Maqashid Tahsiniyat.
2)      Kerusakan pada Maqashid Dharuriyat juga merusak Maqashid Hajiyat dan Maqashid Tahsiniyat.
3)      Sebaliknya, kerusakan pada Maqashid Hajiyat dan Maqashid Tahsiniyat tidak merusak Maqashid Dharuriyat.
4)      kerusakan pada Maqashid Hajiyat dan Maqashid Tahsiniyat yang absolut terkadang merusak Maqashid Dharuriyat.
5)      pemeliharaan Maqashid Hajiyat dan Maqashid Tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan Maqashid Dharuriyat secara tepat.
Dengan demikian, dalam upaya pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga Maqashid tidak dapat dipisahkan.

4.      Pemikiran Ekonomi Asy-syatibi
a.      Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup  orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaanya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai  kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.[15]
b.      Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggug jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam. [16]



Bab III
PENUTUP
kesimpulan
      Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabi’ul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman  dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. Ia wafat pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H).
      Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah meliputi :
1.      Harga yang adil, mekanisme pasar, dan regulasi harga
2.      Uang dan kebijakan moneter
Asy-Syathibi  yang bernama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad ini hidup di Granada. Nama Asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba / Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat. Tokoh yang bermazhab Maliki ini wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M) di Granada.
Asy-Syatibi mengemukakan konsep Maqashid Al-Syariah yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Pemikiran ekonomi Asy-Syatibi meliputi :
1.      Objek kepemilikan (ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak)
2.      Pajak (dilihat dari sudut pandang maslahah / kepentingan umum).
Demikianlah makalah ini  kami buat. Kritik dan saran dari  pembaca kami jadikan motivasi untuk perbaikan makalah kami dan kami ucapkan terima kasih.









Referensi

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, kairo
Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, Maktabah Al-Ma’arih, Beirut, 1966
Ibnu Rajab, Dhail Tabaqad Al-Hanabilah, Matbaah Al-sunnah Al-Muhammadiyah, Kairo, 1953
Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi Al-Islam, Dar Al-Sha’b, Kairo, 1976
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, Matabi’ Al-Riyadh, Riyadh, 1963
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Muhammad Khalid Masud, Filsafat hukum Islam: Studi Tentang hidup dan Pemikiran Al-Syatibi, Penerbit Pustaka,Bandung, 1996
http://salika260790.blogspot.com/2011/03/pemikiran-ekonomi-asy-syatibi-790h1388.html


[2] Ibid,
[3] Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, Maktabah Al-Ma’arih, Beirut, 1966, Vol.14, Hal. 136-137
[4] Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.330
[5] Ibnu Rajab, Dhail Tabaqad Al-Hanabilah, Matbaah Al-sunnah Al-Muhammadiyah, Kairo, 1953, vol. 2, Hal. 388
[6] Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran, Op.cit., Hal. 331
[7] Ibid, Hal. 332
[8] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi Al-Islam, Dar Al-Sha’b, Kairo, 1976, hal. 37
[9] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, Matabi’ Al-Riyadh, Riyadh, 1963, Hal. 523-525
[10] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, Op.cit., Hal.24
[11] Ibnu Taimiyah, Majmu’, Op.Cit., Hal. 472
[13] Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran, Op.cit., Hal. 318
[14] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, kairo, hal. 374
[15] Muhammad Khalid Masud, Filsafat hukum Islam: Studi Tentang hidup dan Pemikiran Al-Syatibi, Penerbit Pustaka,Bandung, 1996, hal. 136
[16] Ibid., hal: 138-139

0 komentar:

Posting Komentar