NEOSUFISME RAGAM DAN PERKEMBANGANNYA



I. PENDAHULUAN

Ditengah gelombang arus modernisasi dan skularisasi, tuntutan terhadap spiritualitas tampaknya mengalami peerkembangan.Hal ini tercermin dari maraknya kajian terhadap spiritualisme. Spiritualisme tersebut dalam perkembangannya mengalami dinamisasi yang beragam, termasuk pada sisi implementasi ajaran. Kerinduan pada spiritualisme tampaknya melanda bebrapa masyarakat yang terhitung terdidik secara modern.
Dimensi batin ini dalam fitrahnya memang membutuhkan semacam terapi dalam menghadapi akumulasi kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal inilah yang antara lain memunculkan tuntutan terhadap pentingnya spiritualisme. Salah satunya adalah melalui tasawuf.
Kekuatan tasawuf mampu membangkitkan kesadaran dan nuansa pembebasan masyarakat muslim. Kecenderungan demam tasawuf diperkotaan kian menunjukkan peningkatan. Oleh Karena itu malalui makalah ini penulis akan memamparkan fenomena tentang neosufisme.

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Apakah pengertian neosufisme ?
  2. Bagaimana sejarah neosufisme ?
  3. Bagaimana karakteristik neo sufisme ?
  4. Bagaimana perkembangan neo sufisme ?

III. PEMBAHASAN



A. Pengertian Neo Sufisme


Istilah ‘‘Neo Sufisme” lebih netral daripada ‘‘tasawuf modern” tasawuf modern lebih optimistik. Karena ‘‘modern” kadang kadang berkonotasi positif optimis. Tetapi keduanya menunjuk kepada kenyataan yang sama yaitu suatu jenis kesufian yang terkait dengan syariah atau dalam wawasan Ibn Taimiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran islam itu sendiri, bagaimana termaktub dalam al-quran dan as-sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran islam itu kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif.
Gejala yang dapat disebut sebagai neo sufisme itu cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap pfositif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum hambali sperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, sekalipun sangat memusuhi sufisme popular, mereka adalah kaum neo sufi, menjadi perintis kearah kecenderungan ini.
Khusu pembaruan dibidang tasawuf. Pembaruan yang dialukan Ibn Taimiyah dipandang sangat mendasar karena berkaitan dengan paradigm dan rancang hubung keilmuan tasawuf yang bertumpu pada segi-segi ontology, epistemology, aksiologi. Dari keempat aspek itulah, peneliti akan menyorotinya secara luas, sehingga pada gilirannya dapat diketahui karakteristik pemikiran tasawuf Ibn Taimiyah juga perbedaan dan kelebihannya dari pemikiran tasawuf yang ada saat itu serta kemungkinan prediksi relevansinya bagi pengembangan ilmu tasawuf yang dapat merespon kebutuhan sepiritual masa kini.[1]
Selanjutnya kaum neo sufisme juga mengakui sampai batas tertentu kebenaran klaim sufisme intelektual bahwa mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran ilahi) kaum sufi atau ilham intuitif, tetapi menolak klaim mereka seolah-olah takdapat salah (ma’sum) dengan menekankan bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kolbu, yang sesungguhnya mepunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga.
Neo sufisme menekankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisme lama.[2]



B. Sejarah Lahirnya NeoSufisme

Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai awal lahir istilah neo sufisme, maka dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa antara antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang becorak dengan mateeri dasarnya berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan ide pada pembentukan moralitas di back up ulama’ moderat pada satu sisi, sedang pada sisi yang lain tasawuf bercorak dengan materi dasarnya bersumber dari filsafat dengan kecenderungan pada materi hubungan manusia dengan tuhan.
Kaum sufi tidak tertarik memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu kearah aspek-aspek peribadatan saja. Dalam hal ini, mereka menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini diberi gelar sebagai kaum lahiriah. Maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakekat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariah dengan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami syariat, tetapi untuk memahami syariat secara benar dan mendalam harus melalui proses tarekat.
Neosufisme ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman. Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah ‘‘tasawuf modern” dalam bukunya tasawuf modern. Namun dalam karyanya ini tidak ditemui istilah ‘‘neo sufisme” yang dimaksudkan disini.
Keseluruhan isibuku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah.[3]
Konsep neo-sufisme oleh fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat islam harus mampu memformulasikan ajaran islam dalam kehidupan sosial.
Kebangkitan tasawuf di dunia islam dengan istilah baru yaitu ne-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modernism. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan karena salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagao aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporer seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidah pernah lepas dari akar islam.
Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang berkembang belakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neo sufisme.



C. Karakteristik NeoSufisme

Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah ‘‘refomed sufim” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui. Pada era kecermelangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru atau neo sufisme ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam ortodoks.[4]
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepda pembinaan semua sosial-moral masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat indiidu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah ‘‘puritanis dan aktiis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kritalisasi kebangkitan neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan islam orthodox terutamanyan motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap kebersamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang ‘‘terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.



D. Perkembangan NeoSufisme

Dalam sejarah perkembangannya, sufisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yakni sufisme awal, sufisme orthodox, sufisme theosofi, dan neo-sufisme.
  1. Sufisme awal, sejak dekade akhir abad II H, fase awal ini juga disebut sebagai ekstime yang merupakan titik awal timbulnya sufisme dalam peradaban islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat. Sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi. Dalam masa ini, telah muncul konsep tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqmat), ma’rifat dan perangkat metoodenya hingga pada derajat fana’ dan ijtihad.
  2. Sufisme Ortodoks, ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar islam yang beraktualitas bahkan sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada kurun waktu ini, terjadi ketegangan antara kaum ortodoks islam dan penganut sufisme awal dengan kaum sufi berpaham ijtihad. Ternyata ketegangan tersebut terjadi bukan semata karena sufisme atau perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah ‘‘ditunggangi” kepentingan politik, yakni antara kaum sufi dengan kaum syi’i. adapun istilah sufisme ortodoks adalah mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu, yakni para sahabat dan generas sesudahnya dengan tetap mempraktekkan kehidupan agama yang bersifat lahiriah.
  3. Sufisme Theosofi, ditandai dengan masuknya unsur-unsur filsafat kedalam sufisme, baik yang bersifat metodologis maupun postulat-postulat filsafat Yunani terutama neo-Platonisme(suatu fase pengulangan ajaran yunani yang lama). Agaknya persoalan ini pula lah yang melatarbelakangi gerakan ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim pada abad VIII Hijriyah untuk melanjutkan usaha al-Ghazali, walaupun terdapat bebrapa perbedaan. Ajaran sufisme baru bisa diterima bila itu tidak bertentangan dengan syariat. Gerakan Ibn Taimiyah ini juga menolak doktrin monism (wahdat al-wujud) Ibn Arabi dan berbagai praktek-praktek ritual sufisme.
  4. Neo-Sufisme, pertama kali digunakan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya ‘‘islam”. Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi justru memancing polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Rahman, sebtulnya Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya ‘‘Tasawuf Modern”, tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata neo-sufisme.[5]

IV. KESIMPULAN

Neo sufisme menkankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisme lama.
Neo sufisme pertamakali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman. Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat islam harus mampu memformulasikan ajaran islam dalam kehidupan sosial.
Noe sufisme ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam ortodoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semua sosio-moral masyarakat muslim.
Dalam sejarah perkembangannya, sufisme dapat diklasifikasikan menjadi bebrapa fase, yakni sufisme awal, sufisme orthodoks, sufisme theosofi, dan neo-sufisme.



DAFTAR PUSTAKA

Pustakamirzan.Blogspot.com/2010/11/neo-sufisme-dan-spiritualitas-masyarakat.html
Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf. 2007. PT. Temprina media Grafika : Surabaya
Sayyid Husein Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. 1985. Pustaka Firdaus : Jakarta
http:/mulkans.wordpress.com
sudirman Tebba. Orientasi sufistik cak nur. 2004. Paramadina : Jakarta

[1]Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf. 2007. PT. Temprina media Grafika : Surabaya. Hlm. 194
[2]Sudirman Tebba. Orientasi sufistik ca knur. 2004. Paramadina : Jakarta. Hlm. 164
[3]http://mulkans.wordpress.com
[4]Sayyid Husain Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. 1985. Pustaka Firdaus : Jakarta. Hlm. 190
[5]Pustakamirzan.Blogspot.com/2010/11/neo-sufisme-dan-spiritualisasi-masyarakat.html

0 komentar:

Posting Komentar